Orang NU dan Fikih Adalah Dua Variabel yang Tak Terpisahkan, Bahkan Dalam Urusan Politik.
Fikih tampaknya sudah menjadi darah keberagamaan dan prinsip hidup NU dan kaum Nahdliyyin. Dalam segala urusan, baik duniawi apalagi ukhrawi, fikih menjadi tata aturan yang diacu. Termasuk dalam urusan politik…
Para tokoh NU dan kaum nahdliyyin, sebagai bagian dari kelompok agama dalam perpolitikan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari tradisi fikih yang kental. Terdapat banyak catatan sejarah menunjukkan hal ini. Baik catatan-catatan resmi dalam sidang-sidang di parlemen, hasil-hasil sidang organisasi, maupun dalam tulisan-tulisan pribadi mereka.
Kita dapat menyebut misalnya tentang status negara Hindia Belanda. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin, pada tahun 1935, dikeluarkan keputusan bahwa Hindia Belanda saat itu adalah termasuk negara Islam (darul Islam). Keputusan ini didasarkan kepada fatwa yang terdapat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Penulis kitab ini menyatakan bahwa wilayah Jawa (baca: Melayu, Nusantara) adalah darul Islam karena pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Sekalipun kemudian dikuasai oleh orang-orang non-Muslim, status darul Islam tidak berubah.
Ketika terjadi pemberontakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, yang secara tidak langsung mencoba menggunakan fikihnya untuk mendelegitimasi NKRI secara agama, para alim ulama mengadakan Musyarawah Nasional (Munas) di Cipanas, Cianjur. Musyawarah ini menghasilkan kesimpulan bahwa kepemimpinan Presiden Soekarno adalah sah secara hukum agama (baca: fikih). Dalam nomenklatur kitab fikih, pemimpin seperti Soekarno disebut waliyyul amri ad-dharuri bis syaukah. Kepemimpinan darurat karena memiliki kekuasaan nyata. Keputusan ini disampaikan oleh KH. Abdul Wahhab Hasbullah dalam sidang Konstituante.
Setelah membubarkan Majelis Konstituante, Presiden Soekarno memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin. Sistem yang kemudian dinilai banyak pihak sebagai bentuk otoritarianisme Bung Karno. Karena posisi Soekarno saat itu sangat kuat, maka hanya ada dua pilihan bagi partai-partai politik saat itu. Mengikuti sistem Bung Karno atau terlempar dari arena perpolitikan nasional. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan KH. Idham Chalid mengambil kebijakan mengikuti sistem. Dalam ijtihad-fiqhi KH. Idham Chalid, Demokrasi Terpimpin sangat sesuai dengan konsep Islam mengenai syura. Demokrasi yang dipraktikkan sejak kemerdekaan adalah demokrasi liberal ala negara-negara Barat. Sistem ini didasarkan kepada suara terbanyak.
Namun sering mengabaikan kekuatan argumen dan nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarakat. Sedangkan dalam Demokrasi Terpimpin, keputusan berada di tangan Presiden, dengan menempatkan pihak lain seperti parlemen, partai ‘koalisi’, dan perwakilan golongan masyarakat sebagai tempat berkonsultasi. Sistem syura mirip dengan sistem demokrasi terpimpin karena seorang pemimpin hanya dianjurkan berkonsultasi dengan para tokoh masyarakat, tanpa harus terikat dengan pandangan mereka. Pemikiran KH. Idham Chalid dalam tradisi pemikiran hukum Islam (baca: fiqh) disebut dengan istilah qiyas atau analogi. Yaitu menyamakan satu permasalan dengan permasalahan lain karena dinilai memiliki unsur kemiripan.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa orang-orang NU cukup kuat dipengaruhi oleh cara berfikir model fikih. NU dan fikih membentuk relasi yang saling membentuk, terutama dalam ranah politik. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tradisi pendidikan Islam yang berkembang saat itu, terutama pesantren, yang lebih banyak mengajarkan fikih. Pengaruh pendidikan pesantren ini seperti dapat dilihat dalam otobiografi KH. Saifuddin Zuhri, “Berangkat dari Pesantren” dan “Guruku Orang-Orang Pesantren”. Beliau mengakui bahwa corak berpolitiknya sangat dipengaruhi oleh guru-guru dan tempat belajarnya di masa lalu. Yaitu para kiai dan pesantren.
Kultur pesantren ini tetap terbawa ketika Nahdlatul Ulama (NU) berubah menjadi partai politik. KH. Wahid Hasyim menulis sebuah artikel yang menjelaskan pilihannya bergabung dengan Partai NU. Menurutnya, dalam tulisan berjudul “Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik” terdapat tiga parameter mengukur kekuatan-kualitas sebuah partai politik; (1) tingkat pendidikan para kadernya, (2) kecepatan perkembangan/revolusioneritas-nya, dan (3) kemampuan menampung keragaman anggota.
Saat itu, para tokoh dan kader NU hanya para kiai dan santri-santrinya. Hampir tidak ada yang punya gelar kehormatan kesarjanaan ala Barat seperti Mr. atau lainnya. Sekalipun begitu, menurut beliau, bukan gelar yang terpenting dalam kualitas kader. Tetapi kemampuan berdialektika dengan problematika sosial-politik. Para kiai adalah orang-orang yang berhadapan langsung dengan masyarakat, paham, dan memiliki visi sosial-politik-keagamaan yang kuat. Jadi, sekalipun tidak pernah mengikuti pendidikan kesarjanaan, kemampuan berfikirnya tidak kalah dengan mereka yang punya gelar kesarjanaan.
Kedua, NU memang tidak secepat perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam soal merekrut anggota-anggota baru. Bahkan ada yang berpandangan sebagai NU partai berbasis agama, tentu ia juga kolot, lambat, dan bahkan kontra-revolusioner karena pastinya akan membela kepentingan-kepentingan kelas sosial yang anti-revolusi. KH. Wahid Hasyim menganalisis, sekalipun dipimpin oleh kiai-kiai tua yang kerjaannya hanya pegang tasbih di pojok langgar, nyatanya setelah berdiri, ratusan cabang NU yang juga dipimpin kiai-kiai langgar menyusul berdiri dengan cukup cepat.
Ketiga, NU adalah partai yang dipimpin oleh para ulama dalam lembaga Syuriyah. Peraturan yang terdapat dalam partai NU adalah peraturan agama Islam yang ketat. Orang yang menjadi anggotanya harus beres salat wajibnya, puasanya, jumatannya, dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Sekalipun kelihatan ketat, dan pastinya banyak orang yang enggan bergabung karena takut terkungkung, namun keketatan ini justru dapat melahirkan sikap solidaritas yang kuat di antara sesama anggota. Ini justru menjadi kekuatan tersendiri karena sebuah partai sangat membutuhkan soliditas yang tumbuh dari sikap solidaritas yang tinggi (1985: 101).
Keketatan dalam partai NU ini merupakan implementasi ajaran para kiai yang sangat kuat menaruh perhatian dalam pelaksanaan kewajiban agama terhadap santri-santrinya. Ajaran para kiai itu merupakan pengejawantahan doktrin-doktrin yang terdapat dalam kitab-kitab fikih yang mereka pelajari dan ajarkan di pesantren-pesantren mereka. Fikih sudah mendarah-daging dalam kehidupan keseharian orang-orang pesantren. Fikih bukan saja menjadi cara memandang realitas. Tetapi fikih sudah menjadi lelaku sehari-hari. Ini menunjukkan betapa orang NU sangat menjaga pelaksanaan ajaran agamanya.