Kisah Gus Baha Tentang Wali Ibadah Versus Wali Tidur, Mana yang Lebih Unggul?

Kisah Gus Baha tentang pertemuan seorang wali ibadah dan wali tidur. Tentang seorang ulama yang bisa jadi wali karena tidur. Ini juga cerita tentang keluasan makna ibadah dan substansi ajaran agama.

Selama ini kita selalu membayangkan menjadi wali adalah perkara yang rumit. Karena untuk menuju ke sana, seseorang harus melalui ritual peribadatan yang ketat, merapal dzikir yang begitu banyak sampai pengupayaan maksimal untuk meninggalkan segala macam kemaksiatan. Tidak sampai di situ, seorang calon wali harus berlatih untuk menundukkan hawa nafsunya. Ia harus mengalihkan perhatiannya secara total kepada Allah dan urusan akhirat, sekaligus menghilangkan unsur-unsur keduniawian dari tujuan hidupnya.

Selama ini kita juga selalu membayangkan kalau mereka yang wali adalah mereka yang selalu beribadah. Tidak ada waktu yang mereka sia-siakan dalam hidupnya kecuali untuk salat, puasa dan berdzikir. Kita selalu membayangkan kalau para wali sangat jarang tidur dan bersenang-senang. Mereka cenderung pergi ke tempat-tempat sepi dan menjauhi keramaian. Para wali, dalam bayangkan kita, selalu mereka yang berusaha menjauhi apa yang biasa dilakukan manusia pada umumnya.

Tapi kenyataannya, tidak semua orang yang berhasil menjadi wali ternyata menempuh jalur ibadah. Gus Baha pernah bercerita dalam sebuah pengajian, ada wali yang ternyata mampu mencapai level kewaliannya dengan tidur. Begini kisah Gus Baha,

“Ada ulama jadi wali, saking cintanya ibadah, sampai dia janggal, ada gak wali yang maqomnya seperti aku? Kemudian Allah menunjukkannya kepada wali yang sepanjang hidupnya hanya tidur kecuali salat fardhu. ‘Dialah wali yang setingkat dengamu!’ [Sang wali ibadah] tidak terima. ‘Ya Tuhan, ini orang kerjaannya cuma tidur kok wali?’ ‘ya tanyakan saja, kenapa dia kerjaannya cuma tidur!’ kemudian wali tidur ini ditanya, kenapa jenengan kerjaannya cuma tidur? Sang wali tidur menjawab, ‘orang tidur itu tidak bisa maksiat! Tapi kalau kamu puasa dan tahajjud, namanya orang terjaga hatinya bisa di mana-mana. Tetap, paling selamat itu orang tidur.’ Akhirnya sang wali ibadah mengakui, ‘ternyata betul lebih alim kamu!’”

Lalu Gus Baha melanjutkan dengan sebuah penjelasan,

“Jadi tidur itu memang bisa jadi wali. Karena orang tidur tidak akan berzina, tidak akan mencuri, tidak akan membicarakan orang lain. Makanya ashabul kahfi itu wali yang keramatnya itu tidur dalam waktu lama. Karena tidur itu, kalau benar, bisa bikin orang jadi wali. Tapi jangan kamu tiru! Lho ini kan cerita ilmu. Cerita ilmu itu tidak perlu kamu setujui dan kamu tiru!”

Jadi orang yang jadi wali karena ibadah nyatanya kalah dengan orang yang jadi wali karena tidur. Kisah tersebut memberikan beberapa pelajaran, pertama, ibadah nyatanya juga berpotensi melahirkan ego (thughyan). Karena dari saking rajinnya beribadah, suatu saat hati seseorang pasti akan berbisik, “ada gak hamba lain yang se rajin aku?” atau “ada gak orang lain yang se soleh aku?” Dalam konteks tasawwuf, perasaan-perasaan semacam ini adalah penyakit hati yang lumrah timbul dari hati manusia.

Kedua, kisah Gus Baha tersebut memberikan kita pelajaran, kalau pekerjaan sesederhana tidur bisa membawa orang ke level wali. Tentu saja bukan hanya tidur biasa. Tapi tidur yang dilandasi oleh ilmu dan kesadaran penuh bahwa hal itu ia lakukan untuk menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Tentu saja level tidur seorang wali dengan level tidur manusia pada umumnya berbeda. Maka kata Gus Baha, model jalur wali seperti ini jangan ditiru. Apalagi dijadikan alasan pembenaran hobi tidur kita. heuheu…

Dengan niat yang benar dan kesadaran penuh, tidur, menurut Gus Baha akan membawa seorang kepada keselamatan. Orang yang tidur tidak akan pernah bisa melakukan maksiat. Mereka yang tidur tidak akan pernah terpikirkan untuk melakukan kejahatan. Mereka yang tidur, secara tidak langsung, sedang ada dalam kondisi di mana mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang dilarang Allah SWT.

Dan kalau kita amati, mayoritas manusia memang lebih susah menghindari larangan dibandingkan melakukan perintah. Ketika seseorang beribadah, besar kemungkinan hati dan pikirannya tengah melakukan maksiat. Ini yang sangat sulit dihindari dan dihilangkan. Perjalanan seorang salik menuju level kewalian sebenarnya adalah proses untuk menghilangkan kecenderungan-kecenderungan halus semacam itu. Tapi dengan tidur, seseorang cukup memejamkan matanya. Hati dan pikirannya pun tidak akan bergerak ke mana-mana. Ia bebas dari pikiran-pikiran kotor, bisikan hati yang negatif dan getaran-getaran halus lainnya.

Kisah Gus Baha soal wali tidur dan wali ibadah tentu bukan untuk membandingkan. Ia adalah tentang makna kemurnian ibadah dan berketuhanan. Orang yang tidur tentu lebih mulia jika ia lebih mampu menuju kemurnian tersebut. Mereka yang beribadah juga tentu lebih mulia jika mampu menundukkan dan menguasai emosi, hati dan pikirannya. Ibadah yang dia lakukan hanya untuk Tuhan dan ia tidak melahirkan apa-apa kecuali keikhlasan dan kekosongan. Ibadahnya tidak melahirkan kebanggaan diri, apalagi perasaan lebih unggul dan soleh dibadingkan orang lain.